Kamis, 09 Mei 2013


                                                        CERPEN ARTI SEBUAH SAHABAT
Sunyi. Sepi. Lara. Itulah yang dialami Ratih semenjak ditinggal pergi Ayah dan Ibu tercinta untuk selamanya. Ya, mereka sudah meninggal setahun yang lalu karena kecelakaan saat bepergian ke luar kota. Ratih sangat syok ketika perawat RSUD Agoes Djam memberi khabar bahwa kedua orangtuanya berada di rumah sakit. Yang lebih membuat gadis kecil itu terpukul adalah saat perawat itu bilang Ayah dan Ibunya sudah tiada.
Walau pun sekuat hati ia berusaha untuk melupakan kejadian itu, tetap saja peristiwa mengenaskan yang menimpa kedua orangtuanya masih membekas di hati. Ratih trauma. Ia berharap ada seorang teman yang bisa menghibur hari-harinya. Dan sampai saat ini ia belum mendapatkan sahabat yang diimpikan itu.
“Tok..tok..tok. Non, ada surat untuk Non !” Bi Ratna mengetuk pintu sambil memanggil Ratih yang sedang terbaring di kamar.
“Ada apa sih, Bi?” sahut Ratih dari dalam kamar.
“Ini, ada surat untuk Non,” jawab Bi Ratna.
“Oh, ya..selipin di bawah pintu saja suratnya Bi,” ujar Ratih.
“Baik Non,” sahut Bi Ratna kembali.
Tak lama berselang Ratih bangun dari tidurnya, dan membuka pintu kamar untuk mengambil surat yang diberikan Bi Ratna tadi. Betapa terkejutnya saat ia membaca surat itu. Ternyata surat itu dikirim oleh seseorang yang tidak dikenalnya. Lebih mengejutkan lagi, orang itu bilang kalau dia ingin menjadi sahabat penanya. Hatinya sangat senang saat membaca surat yang dikirim oleh seseorang yang ternyata bernama Vira. Sahabat barunya itu tinggal di Sukadana.
Dari sinilah mereka akhirnya sering mengirim curhat lewat surat. Jalinan persahabatan mereka pun semakin akrab dan harmonis.
Kini, hidup Ratih tidak seperti yang dulu lagi. Ia tidak merasa hidup sendiri dan kesepian lagi. Semua itu sudah lebih baik dari kehidupan yang ia rasakan dulu. Ia berharap Vira akan menjadi sahabat sejati untuk selamanya.
Pada suatu hari ketika Ratih hendak mengirim surat buat Vira, ia mengabarkan, “Vira, kalau tak keberatan, aku ingin kamu menyertakan fotomu di dalam surat yang nanti hendak kamu kirim balik kepadaku.”
Dan tak berapa lama surat balasan dari Vira pun datang. Ternyata ia menyelipkan foto dirinya di dalam surat itu. Dengan perasaan suka cita dibukanyalah surat itu.
“Rat, ini adalah fotoku, semoga kamu senang melihatnya,” tulis Vira.
“Ooo…. jadi ini ya wajah Vira. Cantik sekali,” ucap Ratih dalam hati tersenyum gembira.
Ratih pun kembali membalas surat yang di kirim Vira tadi. Ditulisnya kata-kata di atas kertas berwarna pink bergambar Snow White.
“Vir, makasih ya udah ngirimin foto kamu. Kapan-kapan bisa nggak kita ketemuan ya?”
Tetapi setelah beberapa hari menunggu, surat balasan dari Vira tak kunjung tiba.
“Tok..tok..tok.! Non, ada surat dari kawannya Non !” panggil Bi Ratna mengetuk pintu kamar Ratih.
“Haahh..??!! Itu pasti surat dari Vira!” ucapnya dalam hati. Ratih pun segera beranjak dari tempat tidurnya dan langsung menemui Bi Ratna.
“Bi, mana surat yang tadi Bibi mau kasih ke aku?” tanya Ratih tak sabaran.
“Ini dia Non suratnya !” jawab Bi Ratna sembari memberi surat itu kepada Ratih.
Dugaan Ratih ternyata benar. Tapi ada yang aneh saat ia membaca surat dari Vira kali ini. Dalam suratnya Vira bercerita, “Ratih sahabatku, nampaknya persahabatan kita harus berakhir sampai di sini. Aku tidak dapat mengirim surat lagi sama kamu. Karena aku harus pergi selamanya dari dunia ini. Jika kamu ingin menjengukku, kamu pergi saja ke Rumah Sakit Agoes Djam. Kamu tidak perlu informasi banyak dariku. Kamu akan tahu sendiri nanti. Kalau kamu tak mau terlalu bersedih nantinya, sebaiknya kamu pergi sekarang juga ke rumah sakit itu. Salam Persahabatan!”
Ratih bingung dengan apa yang disampaikan Vira di dalam surat itu. Ia heran, mengapa rumah sakit yang di sebutkan Vira tadi sama seperti rumah sakit tempat Ayah dan Ibunya sempat dirawat dulu.
Dengan rasa penasaran, Ratih pun segera pergi ke rumah sakit yang disebutkan Vira di dalam surat tadi. Sesampainya di sana, Ratih langsung mencari informasi dan bertanya kepada perawat jaga.
“Siang Suster, apa ada pasien di rumah sakit ini yang bernama Vira Amelia dari Sukadana ? Dia baru masuk kemarin malam,” tanya Ratih kepada perawat tersebut.
“Oh ya…pasien yang bernama Vira Amelia memang sedang dirawat di rumah sakit ini,” jawab sang perawat lagi.
“Dia berada di ruang mana ya, Sus?” tanya Ratih kembali.
“Dia dirawat di Ruang Melati 4. Kalau memang adik ingin menjenguknya, lebih baik segera ke sana,” ucap si perawat dengan raut wajah serius.
“Memangnya kenapa, Sus?” tanya Ratih heran.
“Sakitnya parah. Menurut dokter, hidupnya diperkirakan tinggal beberapa waktu lagi,” kata sang perawat.
“Haahh??!! Apa ? Memangnya dia menderita penyakit apa, Sus?” Ratih gelisah. Wajahnya memucat.
“Anak itu menderita tumor ganas di dalam otaknya. Kasihan sekali gadis itu.” ucap perawat itu.
Tanpa basa-basi dan permisi, ia segera pergi menuju ke ruang tempat Vira di rawat. Ia berjalan setengah berlari sambil meneteskan air mata.
Akhirnya Ratih sampai di depan ruang di mana Vira dirawat. Dia segera masuk ke dalam kamar tersebut.
Ratih tak kuasa menahan air matanya lagi, ketika melihat sahabat penanya yang ia sayangi tergolek di atas ranjang putih. Diam tak berdaya dengan selang infus menempel di hidung dan tangan. Di ruangan juga ada kedua orangtua Vira, kakak dan adiknya. Mereka bersedih.
Ratih menanyakan hal tersebut kepada Mama Vira. Mama Vira menjelaskan bahwa Vira mengidap penyakit ini sudah sejak lama. Saat mengetahui penyakit yang diidapnya, Vira merasa syok dan tak mau bermain dengan teman-teman seusianya. Ia merasa minder. Sejak itulah Vira sangat merasa kesepian dan terasing.
Dari situlah akhirnya Ratih mengerti mengapa Vira sampai-sampai mengirim surat kepadanya. Niatnya hanya satu, ingin berteman.
Ratih mendekati Vira, lalu memegang tangan Vira sambil berkata, “Vir, walau pun kita tidak pernah bertemu selama ini, dan kita hanya dapat bertukar cerita lewat kata-kata , tapi kita tetap menjadi sahabat sejati.”
Ratih menangis sesunggukkan di hadapan Vira.
Vira hanya bisa diam tak bersuara di atas tempat tidurnya. Melihat Vira yang tergeletak tak berdaya, air mata Ratih mengalir semakin deras.
Tak lama kemudian tangan Vira mulai bergerak perlahan-lahan dan ia juga dapat mengeluarkan kata-kata pelan. Melihat kejadian itu, mama Vira segera memanggil perawat yang lewat di depan kamarnya. Dan perawat itupun memanggil dokter.
Setelah Vira di periksa dokter, dokter menyatakan bahwa Vira sudah bebas dari masa kritisnya.
Setelah melewati beberapa tahap pemeriksaan, dokter berkata bahwa kondisi Vira sudah mulai membaik. Walau belum seratus persen pulih. Paling tidak ia dapat melewati masa kritis. Semua itu kuasa Allah Yang Maha Pemurah dan Penyayang, sehingga Vira dapat bertahan. Allah-lah yang mengatur semua kehidupan kita. Hidup atau pun mati.
Ratih sangat bersyukur kepada Allah, karena sahabatnya Vira telah diberi kesempatan untuk hidup, juga diselamatkan dari penyakit maut. Ratih pun berterima kasih kepada Allah karena telah memberikan pengalaman hidup yang berharga bagi dirinya. (Ketapang, Maret 2012)***
Cerpen Karangan: Annisa Melyana Andhiani
Facebook: Ramona Isabelle

Tidak ada komentar:

Posting Komentar